Home » » SEJARAH KARANG KAMULYAN, PENINGGALAN KERAJAAN GALUH DI CIAMIS

SEJARAH KARANG KAMULYAN, PENINGGALAN KERAJAAN GALUH DI CIAMIS


Karang Kamulyan adalah salah satu cagar budaya yang ada di Kabupaten Ciamis.Cagar budaya yang luasnya hamper 25 Ha ini merupakan peninggalan Kerajaan Galuh.Situs ini terletak antara Ciamis dan Banjar, jaraknya sekitar 17 km ke arah timur dari kota Ciamis.Berbicara mengenai Karang Kamulyan, fikiran kita akan langsung tertuju pada sebuah situs peninggalan sejarah. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Jilid III, situs adalah daerah temuan benda-benda purbakala.Situs ini juga dapat dikatakan sebagai situs yang sangat strategis karena berbatasan dengan pertemuan dua sungai yakni Sungai Citanduy dan Cimuntur. Memang sampai sekarang belum ada bukti otentik mengenai apakah di situs ini dulunya merupakan pusat kerajaan Galuh atau bukan, tapi kalau kita kaitkan dengan kepercayaan atau agama yang berkembang saat itu yaitu agama Hindu, daerah ini memang cocok dijadikan pusat kerajaan Galuh karena berada dekat pertemuan dua sungai tersebut.Kosoh S, dalam bukunya yang berjudul Sejarah Daerah Jawa Barat mengemukakan:
“… apabila ditinjau dari sudut pandang keagamaan dalam hal ini agama Hindu, Karang Kamulyan adalah sebuah tempat yang letaknya sangat baik, yaitu pertemuan dua sungai besar, yaitu Sungai Cimuntur dan Sungai Citanduy”.
Selain itu, ia juga menjelaskan bahwa penduduk setempat dan juga Babad Galuhmenganggap bahwa Karang Kamulyan itu juga merupakan pusat Kerajaan Galuh karena dilihat dari arti katanya sendiri, Karang Kamulyan artinya tempat yang mulia atau tempat yang dimuliakan.
Para sejarawan dapat menyimpulkan bahwa agama yang dianut pada masa Kerajaan Galuh adalah agama Hindu karena berdasarkan Carita Parahyangan yang menyebutkan bahwa pemujaan yang umum dilakukan oleh Raja Galuh adalah sewabakti ring batara upati. Upati berasal dari bahasa Sansekerta utpati atau utpata, yaitu nama lain untuk Yama, dewa pencabut nyawa agama Hindu dari mazhab Siwa. (Nugroho Notosusanto ; 1993 : 358)
Berbicara mengenai Karang Kamulyan, kita tidak bisa terlepas dari cerita Ciung Wanara, menurut masyarakat setempat kisah ini memang menarik untuk ditelusuri, karena selain menyangkut cerita tentang Kerajaan Galuh, juga dibumbui dengan hal luar biasa seperti kesaktian dan keperkasaan yang tidak dimiliki oleh orang biasa namun dimiliki oleh Ciung Wanara.
Masa kecil Ciung Wanara dibesarkan oleh kakeknya Aki Balangantrang. Setelah dewasa, Ciung Wanara dijodohkan dengan cicit Demunawan bernama Dewi Kancana Wangi, dan dikaruniai puteri yang bernama Purbasari yang menikah dengan Sang Manistri atau Lutung Kasarung.
Dalam usahanya merebut kerajaan Galuh dari tangan Sang Tamperan, Ciung Wanara dibantu oleh kakeknya yaitu Aki Balangantrang yang mahir dalam urusan peperangan dan kenegaraan bersama pasukan Geger Sunten. Perebutan kerajaan ini konon tidak dilakukan dengan peperangan, tapi melalui permainan sabung ayam yang menjadi kegemaran raja dan masyarakat pada saat itu. Ciung Wanara memenangkan permainan ini dengan mudah.
Ciung Wanara memerintah selama 44 tahun (739-783 Masehi), dengan wilayah dari Banyumas sampai dengan Citarum, selanjutnya setalah Ciung Wanara melakukanmanurajasuniya (mengakhiri hidup dengan bertapa), maka selanjutnya kerajaan Galuh dipimpin oleh Sang Manistri atau Lutung Kasarung, menantunya. Ciung Wanara disebut juga Sang Manarah, atau Prabu Suratama, atau Prabu Jayaprakasa Mandaleswara Salakabuwana.
Sekarang kita kembali ke Situs Karang Kamaulyan, AMDG dalam situsnyawww.navigasi.net menyebutkan bahwa kawasan ini menyimpan berbagai benda-benda yang diduga mengandung sejarah tentang Kerajaan Galuh yang sebagian besar berbentuk batu.Batu-batu yang ada di lokasi ini memiliki nama dan kisah. Nama-nama tersebut merupakan pemberian dari masyarakat yang dihubungkan dengan kisah atau cerita tentang kerajaan Galuh.


Pangcalikan
Situs pertama yang akan kita lewati apabila kita masuk ke Cagar Budaya ini adalah Pelinggihan (Pangcalikan). Pelinggih merupakan sebuah batu bertingkat-tingkat berwarna putih serta berbentuk segi empat, termasuk ke dalam golongan / jenis yoni (tempat pemujaan) yang letaknya terbalik dan digunakan untuk altar. Di bawah Yoni terdapat beberapa buah batu kecil yang seolah-olah sebagai penyangga, sehingga memberi kesan seperti sebuah dolmen (kubur batu). Letaknya berada dalam sebuah struktur tembok yang lebarnya 17,5 x 5 meter.


Sahyang Bedil
Tempat yang disebut Sanghyang Bedil merupakan suatu ruangan yang dikelilingi tembok berukuran 6,20 x 6 meter. Tinggi tembok kurang lebih 80 cm. Pintu menghadap ke arah utara, di depan pintu masuk terdapat struktur batu yang berfungsi sebagai sekat. Di dalam ruangan ini terdapat dua buah menhir yang terletak di atas tanah, masing-masing berukuran 60 x 40 cm dan 20 x 8 cm. Bentuknya memperlihatkan tradisi megalitikum.Menurut kepercayaan masyarakat, Sanghyang Bedil kadangkala dapat dijadikan sebagai pertanda akan datangnya suatu kejadian, terutama apabila di tempat itu berbunyi suatu letusan, namun sekarang pertanda itu sudah tidak ada lagi. Di samping itu senjata memiliki arti perlambangan tersendiri yang telah dikenal oleh masyarakat sekitarnya. Senjata merupakan lambang dari hawa nafsu. Arti filsafatnya adalah bahwa hawa nafsu sering menyeret manusia ke dalam kecelakaan ataupun kemaksiatan.
Penyabungan Ayam
Tempat ini terletak di sebelah selatan Sanghyang Bedil. Masyarakat menganggap tempat ini merupakan tempat penyabungan ayam Ciung Wanara dan ayam raja. Di samping itu merupakan tempat khusus untuk memlih raja yang dilakukan dengan cara demokrasi.


Lambang Peribadatan
Batu yang disebut sebagai lambang peribadatan merupakan sebagian dari kemuncak, tetapi ada juga yang menyebutnya sebagai fragmen candi, masyarakat menyebutnya sebagai stupa. Bentuknya indah karena dihiasi oleh pahatan-pahatan sederhana yang merupakan peninggalan Hindu. Letak batu ini berada di dalam struktur tembok yang berukuran 3 x 3 x 0.6 m. Di tempat ini terdapat dua unsur budaya yang berlainan yaitu adanya kemuncak dan struktur tembok. Struktur tembok yang tersusun rapi menunjukkan lapisan budaya megalitik, sedangkan kemuncak merupakan peninggalan agama Hindu.Masyarakat menyebutnya sebagai lambang peribadatan atau lambang keagamaan, karena dilihat dari bentuknya yang mirip dengan stupa.


Panyandaran
Terdiri atas sebuah menhir dan dolmen, letaknya dikelilingi oleh batu bersusun yang merupakan struktur tembok. Menhir berukuran tinggi 120 cm, lebar 70 cm, sedangkan dolmen berukuran 120 x 32 cm. Menurut cerita, tempat ini merupakan tempat melahirkan Ciung Wanara. Di tempat itulah Ciung Wanara dilahirkan oleh Dewi Naganingrum yang kemudian bayi itu dibuang dan dihanyutkan ke sungai Citanduy. Setelah melahirkan Dewi Naganingrum bersandar di tempat itu selama empat puluh hari dengan maksud untuk memulihkan kesehatannya setelah melahirkan.
Masyarakat mempunyai mitos pada tempat ini. Sebagian masyarakat percaya bahwa kalau ada ibu-ibu yang belum dikaruniai anak dan ingin mempunyai anak, maka harus bersandar di tempat itu.


Cikahuripan
Di lokasi ini tidak terdapat tanda-tanda adanya peninggalan arkeologis. Tetapi hanya merupakan sebuah sumur yang letaknya dekat dengan pertemuan antara dua sungai, yaitu sungai Citanduy dan sungai Cimuntur. Sumur ini disebut Cikahuripan yang berisi air kehidupan. Sumur ini merupakan sumur abadi karena airnya tidak pernah kering sepanjang tahun.


Makam Dipati Panaekan
Di lokasi makam Dipati Panaekan ini tidak terdapat tanda-tanda adanya peninggalan arkeologis. Tetapi merupakan batu yang berbentuk lingkaran bersusun tiga.
Dipati Panaekan adalah putra kedua dari Cipta Permana (Prabu di Galuh) Raja Galuh Gara Tengah, ia wafat karena dibunuh oleh adik iparnya sendiri yang bernama Dipati Kertabumi (Singaperbangsa I) karena perselisihan paham dalam rangka penyerbuan Belanda ke Batavia dimana Panaekan condong ke pendapat Dipati Ukur sedangkan Singaperbangsa condong ke pendapat Rangga Gempol. Setelah dibunuh, jasadnya dihanyutkan ke Cimuntur dan diangkat lagi dipertemuan Sungai Cimuntur dan Sungai Citanduy lalu dikuburkan di Karang Kamulyan.
Menurut juru kunci Karangkamulyan, Endan Sumarsana, didaerah karangkamulyan ini juga terdapat sebuah ”highway” Padjajaran atau disebut juga jalan raya yang menghubungkan Padjajaran dengan daerah-daerah disekitarnya. Jalan raya ini dimulai dari pusat kerajaan Padjajaran, kemudian ke Cileungsi, Cibarusa, Warunggede, Tanjung Pura, Karawang, Ciakao, Purwakarta, Sagalaherang, Sumedanglarang, Tomo, Sindangkasih, Rajagaluh, Talaga, Kawali dan berakhir di Karangkamulyan. Sekarang sisa dari jalan raya ini tidak dapat kita lihat karena sudah berubah menjadi pemukiman penduduk. Sekarang ini, masyarakat disekitar Karangkamulyan mempunyai tradisi yang unik setiap menjelang datangnya bulan Ramadhan. Mereka menamai tradisi ini dengan istilah ”Mager”. Tradisi ini dimulai dengan doa bersama yang dipimpin oleh Kuncen atau juru kunci Karangkamulyan, setelah itu masyarakat saling bersilaturahmi dan makan bersama di lokasi tersebut. Masyarakat juga membawa bambu dan menggunakan bambu tersebut untuk membuat pagar bambu mengelilingi pancalikan. Kegiatan ini juga mempunyai arti tersendiri yaitu memagari atau membentengi umat muslim yang akan melaksanakan ibadah puasa dari gangguan setan yang akan terus menggangu umat manusia.


Oleh: Mustafid
DAFTAR REFERENSI
Notosusanto, Nugroho. (1993). Sejarah nasional Indonesia II. Jakarta : Balai Pustaka
S, Kosoh, dkk. (—-). Sejarah Daerah Jawa Barat. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional. Jakarta : CV. Dwi Karya
AMDG. (2006). Cagar Budaya Karang Kamulyan. [online]. Tersedia:http://www.navigasi.net/goarth.php?a=bukmln [9 Oktober 2007]
Marsellia, Mira. (2006). Bojong Galuh Karang Kamulyan Ciung Wanara. [online]. Tersedia: http://www.miramarsellia.wordpress.com/2006/10/09/ bojong-galuh-karang-lkamulyan-ciung-wanara/ [9 Oktober 2007]
Pikiran Rakyat. (2007). [online]. Tersedia: http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/ 0104/25/0801.html [9 Oktober 2007]
SMK Negeri 1 Ciamis. (2005). Karang Kamulyan [online]. Tersedia: http:// www.smkn1-cms.sch.id/ciamis/karangkamulyan.html [9 Oktober 2007]

0 komentar:

Posting Komentar

Statistik

Topics :